Antara Aku dan Kamu, juga Burung dan Batik Indonesia

Kembali pada bulan Oktober, dimana begitu banyak tanggal peringatan. Namun satu yang ku ingat pasti, Bu Harti. Siapakah sosok yang disapa? Tahukah kamu? Jangan bilang kamu mengenalku baik, jangan melempar gombal kamu menyelami dunia yang sama denganku, kalau kamu merasa asing padanya.

Bu Harti, memang bukan ibuku. Namun, kamu perlu tahu tentangnya. Burung di Hari Batik, itulah kepanjangan dari panggilan itu.

Kamu mengaku nasionalis? Kamu bangga jadi anak Indonesia? Semoga kamu tidak lupa, 2 Oktober 2009 adalah tanggal pengakuan dunia terhadap kreasi Indonesia yang berupa aneka corak cantik menawan, entah itu tulis maupun cap, pada kain-kain yang dapat disulap jadi apapun.

Parang barong, parang rusak, kawung, ceplok, loreng, nitik, semen, kraton, sudagaran, cuwiri, tambal, sekar jagad, sido mukti, sido luhur, dan sido asih merupakan corak umum yang kita jumpai dalam pakaian nuansa batik. Dunia melalui PBB-nya, bagian pendidikan dan kebudayaan yaitu UNESCO, sudah mendeklarasikan batik sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity alias maha karya.

Lalu, apa hubungannya dengan burung? Oh, asingkah kamu pada lagu yang dinyanyikan seorang Iwan Fals? Negeri ini memang kaya. Kaya orangnya, kaya binatangnya. Kaya alamnya, kaya budayanya. Negeri ini memang kaya. Kaya pejabatnya, kaya penjahatnya. Kaya idenya, kaya sejarahnya. Negeri ini memang kaya. Lupakan pejabat dan penjahatnya, fokuslah pada kekayaannya yang hakiki. Binatang, alam, budaya, ide, dan sejarah. Burung termasuk dalam kategori binatangnya. Burung hidup di alam bebasnya.

Kemudian muncullah ide dari para pengamat burung Indonesia untuk melakukan pengamatan burung di hari batik nasional. Berbusana batik dengan bangganya dan mengamati burung untuk mengenali kekayaan burung Indonesia. Kelak, ide yang terus dijalankan ini akan menjadi sejarah bagi dunia perburungan Indonesia. Semata-mata demi kedaulatan Ornitologi Indonesia! Ornitologi, ilmu yang mempelajari burung – bukan mengurung burung dalam sangkar atas nama cinta semu. Pun aku tak mau tertinggal dalam penciptaan sejarah ini. Kamu?

Jadi, 2 Oktober 2016 lalu adalah peringatan Bu Harti ke-6. Tanpa beribu alasan, ku rencanakan berbagai kegiatan untuk mengeksplor euphoria Bu Harti versiku. Alhamdulillah, semua terlaksana dengan baik.

Pertama, bergabung dengan seorang teman cilik, Kaysan. Kami menjadwalkan pengamatan burung di sekitar komplek rumahnya pada hari H. Sesuatu yang berbeda, Kaysan mengajak teman-teman JURASIK ASIK-nya. Mereka anak-anak dengan rentang usia SD, kelas 1-6 dari berbagai sekolah, yang biasa main sambal belajar di garasi rumah Kaysan. Garasi penuh inspirasi, bagiku. Ada perpustakaan berisi aneka macam buku, ada mainan, dan ada tanya antusias beserta ceria anak-anak di sana. Oleh karena Bu Harti, Kaysan dan Ibunya beserta anak-anak SD itu tentunya mengenakan baju batik yang mereka miliki. Ku tak mau tertinggal, pun mnegenakan batik walau berupa celana. Hehe. Meski hasil pengamatan burungnya sedikit, ya namanya lingkungan komplek perumahan, tetapi kami tetap seru belajar bersama tentang burung. Namanya, ciri dan pembedanya, juga fotonya.

Kedua, pengamatan burung sekitar rumah pada H+1. Cuma berdua dengan seorang tanpa latar belakang Biologi, apalagi burung, malah Fisika, Galih dan aku berbatik ria di sebuah lapangan bola Meruya. Ya, sepi burungnya. Banyak yang berubah di lapangan itu. Lenyapnya rumpun bambu dan danau, munculnya ladang dan penampungan sampah, juga melintangnya tol lingkar luar Jakarta yang tak sepi lalu lintas. Pun cuaca hari itu tak me dukung, seharian langit gelap disertai hujan. Namun, hal seru ialah melihat orang yang bukan pengamat burung mau ikut mengamati burung di hari batik nasional.

Ketiga, H+2 minggu, memandu orang asing yang menamai diri mereka sebagai Go Wild Indonesia, pengamatan burung di Monas. Semoga kita malu, orang asing saja ingin mengenal kekayaan hayati yang negeri kita miliki. Kemana kita, para pemuda/i Indonesia? Hari Sabtu itu, menggunakan celana batik, ku pandu para bule Inggris dan Australia tersebut untuk melihat-lihat burung apa saja yang masih berada di tengah kota metropolitan. Cukup banyak burung teramati, satu yang paling menarik hati, yaitu Gagak Hutan (Corvus enca). Kami semua tahu, burung hitam bersuara parau itu pemakan segala alias omnivor. Namun tak terduga oleh kami, seekor burung Punai Gading (Treron vernans) muda jadi santapannya. Begitu lahap dan cekatannya paruh langsing Gagak itu mengoyak daging segar si Punai malang.

Keempat, masih di H+2minggu, mengamati burung pantai di sisaan lahan perumahan mewah di Ancol. Bersama adik-adik kelompok pengamat burungku, KPB Nycticorax, kami mengamati titik pengamatan yang tidak banyak dilirik pengamat burung Jabodetabek. Namun, selama beberapa tahun selalu ku usahakan memantaunya meski dengan interval yang tak teratur. Oktober ini musim migrasi, ku pikir seperti pada tahun-tahun sebelumnya, akan ada beberapa jenis burung pantai migran di sana. Sayang, hanya berhasil teramati dua ekor Gajahan Pengala (Numenius phaeopus) dan tiga ekor Trinil Pantai (Tringa hyploleucos). Syukur, si burung pantai yang hanya ada di Indonesia dan Timor Leste yaitu Cerek Jawa (Charadrius javanicus) masih bertahan di lahan perumahan itu.

Kelima, H+20hari, bersama para tim Indonesia Birding Photography yang mencintai burung-burung liar dengan lensanya ke Teluk Jakarta dan Pulau Rambut. Begitu senang melihat mereka antusias, mencari-cari burung untuk ditangkap dengan kameranya masing-masing padahal mereka bukan berlatar Biologi maupun birdwatching. Perjalanan menembus pasir, laut, semak, mangrove, dan rawa lumpur tak membuat mereka mengeluh, malah justru semakin antusias mengenal kekayaan burung Indonesia. Primadona hari itu ialah sekitar 50 ekor burung hitam besar Cikalang Christmas (Fregata andrewsi) di tengah laut dan 12 ekor burung berwarna merah marun dengan paruh melengkung, Ibis Roko-roko (Plegadis falcinellus), di tengah hutan mangrove dengan ketinggian rawa lumpurnya mencapai paha orang dewasa.

Burung-burung yang kudapat selama lima kali pengamatan di bulan Oktober ini memang tak banyak. Namun suka cita melakukan apa yang menjadi passionku dan menunjukkan banggaku pada batik, itu adalah bahagia sederhanaku.

Sekitar 1600 jenis burung yang Indonesia miliki di alamnya dan sedikitnya 15 jenis corak batik yang tersebar luas di perdagangan konveksi tanah air ini, lalu sudahkah kamu memperhatikannya?

Antara aku, kamu, burung, dan batik Indonesia. Semoga ada cinta di antara kita. Cinta untuk lestari hingga jadi warisan bagi penerus bangsa di masa mendatang.

Penulis : Desy Ayu Triana

Tulisan merupakan hasil lomba penulisan populer 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *