“ID PLEASE…”

Entah sejak kapan istilah “id please…” ini sering terdengar atau tepatnya terlihat di kiriman media-media sosial yang biasanya mendampingi foto satwa tertentu, khususnya burung. Mungkin sejak dua atau tiga tahun yang lalu, bahkan mungkin sejak lima tahun terakhir. Sejak tentunya perkembangan dunia dan peralatan fotografi makin terjangkau banyak pihak. Istilah “id please…” ini pun banyak muncul di grup-grup media sosial yang digunakan untuk saling berbagi para pengamat burung.

Ada kabar gembira sebenarnya dengan makin seringnya istilah “id please…” ini muncul. Hal ini dapat menggambarkan bahwa makin banyak masyarakat saat ini yang peduli dengan keberadaan burung di sekitar mereka. Kenal sebagai langkah awal sebelum sikap dan tindakan yang mendukung kelestarian, tidak hanya burung namun juga habitatnya yang tidak lain adalah lingkungan kita sendiri.

Burung memang merupakan satwa liar yang dapat dikatakan paling akrab dengan kehidupan manusia. Banyaknya aspek-aspek kehidupan sosial budaya masyarakat dari jaman dulu sampai sekarang yang terinspirasi oleh burung. Bagusnya lagi adalah, dari segi taksonomi, burung termasuk golongan taksa yang cukup mapan. Walaupun penemuan jenis-jenis baru yang benar-benar “new discovery” tetap ada dalam sepuluh tahunan sekali di dunia ini, namun taksa burung dianggap telah sudah cukup stabil sejak puluhan tahun yang lalu.

Beberapa penambahan atau pengurangan jenis burung yang tercatat umumnya hanya terjadi akibat teknis penamaan dan pengelompokkan kembali, karena berkembangnya teknik baru pengelompokkan jenis maupun penelitian lanjutan bidang genetika. Kasarnya, burungnya sih itu-itu juga, hanya pengembangan metode penelitian menyebabkan beberapa kelompok subjenis dipisahkan atau digabungkan menjadi jenis-jenis baru, maupun sebaliknya.

Indonesia dengan jumlah 1.672 jenis burung (Burung Indonesia 2016) merupakan negara dengan jumlah burung nomor empat terbanyak di dunia. Tak heran, karena wilayah nusantara ini termasuk daerah yang paling dramatis di bumi ini dalam menjalani proses geologi dan evolusi kehidupannya. Dalam bidang biogeogafi saja – cabang ilmu biologi yang diantaranya mempelajari penyebaran jenis-jenis makhluk hidup berdasarkan lokasi asalnya – Indonesia setidaknya dikenal memiliki tiga bioregion, yaitu Sunda Besar, Wallacea, dan Austro-papua. Belum lagi tebaran pulau-pulau kecilnya yang berserakan dan sebagiannya terisolasi dalam proses evolusinya, menyebabkan nusantara tidak jauh dari kata megabiodiversity, kaya akan jenis sekaligus tinggi tingkat endemisitasnya.

Pengamatan burung saat ini, di era informasi yang bergelimang tampaknya cukup dimudahkan. Saat “simbah Google” yang siap sedia setiap saat, buku-buku dan website identifikasi jenis yang mudah didapat dan lengkap, bahkan aplikasi-aplikasi identifikasi foto dan suara sudah mulai banyak berkembang hanya dalam genggaman sebuah smartphone, semuanya seperti terasa mudah. Tak terbayang dulu bagaimana pada pelopor perburungan di Indonesia yang hanya bermodal cheklist terbatas, membuat catatan lapangan, kemudian mencocokan lagi ke museum-museum. Sehingga tak heran, kehadiran buku “A field guide to the birds of South-East Asia”-nya Ben King tahun 1970an menjadi begitu legendaris, dan juga akhirnya buku “Field guide to birds of Java and Bali” karya John MacKinnon terbit tahun 1990, begitu terasa manfaatnya bagi para pengamat burung. Walau sebelumnya, Bruce Beehler sudah selangkah lebih dulu menyusun “Birds of New Guinea” tahun 1986. Saat ini, semua bioregion di Indonesia telah memiliki buku panduan burung-burungnya. Dan, kita menikmatinya.

Apa yang susah untuk mengindentifkasi seekor burung saat ini? Mungkin yang paling susah adalah usaha untuk mengidentifikasinya itu sendiri. Pada awalnya, setiap pengamat burung “pemula” akan kesulitan untuk mengidentifikasi, jenis burung apa yang barusan saja dia lihat. Kendala pertama biasanya pengamat tidak mencatat secara rinci, apa ciri-ciri dari burung yang baru saja dilihatnya tersebut. Sehingga tak heran ketika ditanya kembali, bagaimana ciri burung yang dilihat tadi, maka jawabannya mungkin hanya “warnanya hitam”, itu saja.

Berdampingan dengan pengamat burung “lama” biasanya membuat pengamat pemula merasa enak, tinggal lihat tinggal tanya dan selesai. Bahkan jarang sekali setelah itu ada proses mencatatnya. Bolehlah.. awal-awal seperti itu. Tapi coba rasakanlah, Anda melihat burung yang belum pernah Anda kenal sama sekali, kemudian Anda berusaha tanpa bertanya mencatat ciri-cirinya, mencocokkannya di buku panduan lapangan, kemudian mencari tahu lebih dalam maupun memverifikasi hasil dengan sumber-sumber lain. Kalau Anda melakukan proses semacam itu, dijamin Anda tidak akan pernah lupa dengan burung tersebut, kapan dan di mana pun Anda lihat kembali.

Secara umum, ada empat tahapan seleksi untuk dapat dengan cepat dan mudah mengetahui atau mencari tahu, jenis burung apa yang kita lihat. Pertama adalah dengan melihat ukuran dan bentuknya. Apakah besar, sedang, atau kecil. Jika bingung mengkategorikan, buatlah perbandingan dengan ukuran burung-burung yang sudah Anda sangat kenal. Misalkan “sebesar burung gereja”, atau “sedikit lebih kecil dari kutilang”, dan sebagainya. Ciri-ciri bentuk pun sangat penting. Sama seperti ukuran, bandingkanlah dengan burung lain. Misalnya “seperti burung merpati”, atau “paruh panjang dan melengkung ke bawah”, bisa juga “paruh besar dan panjang, ekor pendek sekali”, dan sebagainya.

Tahap kedua adalah dengan mendeskripsikan warna dan pola warna burung tersebut. Kadangkala ini dapat menjadi kendala jika Anda berada pada posisi atau waktu yang kurang tepat. Menghadap matahari akan menyebabkan obyek di depan (burung) menjadi gelap atau siluet hitam. Burung-burung pemalu yang suka bersemayam dalam lembah-lembah gelap dan lembab juga dapat mengaburkan mata kita dari warna sebenarnya. Selain itu, pengamatan yang sudah terlalu sore juga menyebabkan warna menjadi bias. Namun, berilah keterangan warna dan polanya semampu yang Anda dapat berikan, walaupun itu hanya sekedar keterangan terang atau gelap saja.

Tahap ketiga adalah informasi mengenai lokasi dan habitat burung tersebut. Tentulah, tidak semua burung dapat ditemukan di semua tempat, apalagi jenis-jenis endemik atau jenis yang hanya hidup alami di daerah tertentu. Jenis endemik Sulawesi tentu tidak akan dijumpai di Sumatera dan sebaliknya. Atau, jika Anda menjumpai kakatua di hutan Pulau Seram, hampir pasti itu adalah kakatua maluku Cacatua moluccensis, maka tidak perlu berharap sehingga kakatua itu menjadi kakatua-kecil jambul-kuning Cacatua sulphurea seperti yang ada di Pulau Komodo. Habitat juga menjadi saringan berikutnya untuk memperpendek daftar kemungkinan jenis yang dilihat. Burung-burung khas dataran tinggi tentu tidak ditemukan di dataran rendah atau permukiman di pantai. Demikian juga jika melihat burung-burung berlarian di tepi pantai, maka buang jauh-jauh pikiran bahwa itu adalah burung gunung yang nyasar ke pantai. Dengan demikian Anda makin mudah menyeleksi kemungkinan jenisnya dalam buku panduan burung.

Tahap ke-empat adalah, jika melihat burung khususnya yang baru dilihat, catatlah perilakunya. Perilaku juga dapat menjadi faktor kunci dalam identifikasi. Misalkan saja, tidak semua burung suka berkelompok, maka akan aneh kalau hasil identifikasi mengatakan terlihat sikatan delapan ekor berkumpul. Sama anehnya ketika Anda mengidentifikasi paok dengan keterangan bertengger di puncak pohon. Di buku-buku panduan lapangan burung, biasanya ada bagian penjelasan yang memberikan keterangan mengenai perilaku khas tiap burung. Cocokanlah perilaku yang dilihat dengan keterangan yang ada. Kadangkala tidak semua perilaku burung tercatat dalam buku panduan tersebut, untuk itu membandingkan dengan sumber-sumber lain sangat disarankan.

Dari empat tahapan mengindentifikasi burung tersebut, tidaklah harus sebaku seperti itu. Sekarang dapat pula burung diidentifikasi hanya dari suara saja. Beberapa website internet menyediakan koleksi suara burung yang bersifat open access, sehingga dapat digunakan juga untuk mencocokan jika pengamat memiliki rekaman suara burung. Bahkan di beberapa tempat di dunia termasuk Indonesia, sudah mulai digunakan dan dikembangkan aplikasi smartphone layaknya buku panduan lapangan.

Saat ini pun perkembangan pengamatan burung sudah tidak melulu mengandalkan catatan lapangan. Banyak pengamat kekinian yang ketika pengamatan burung tidak hanya membawa teropong, tapi juga menenteng kamera dengan spesifikasi sangat baik sehingga dapat mengabadikan individu-individu burung dengan sangat baik pula. Tentu ini sangat memudahkan identifikasi. Bahkan saat ini, mesin pencari Google telah menyediakan fasilitas Google Image, artinya jika kita mengunggah satu foto burung, maka simbah Google akan mencocokkan foto tersebut dengan foto-foto sejenis yang memang sama atau sekedar mirip. Wahh.., enak sekali.

Memang prinsipnya saat ini tidaklah susah untuk mengidentifikasi burung yang kita lihat. Namun cara-cara klasik seperti membuat sketsa burung, mendeskripsikan ciri-ciri dan perilakunya, menuliskan pola suaranya, dan sebagainya, masih banyak digunakan. Bahkan hal ini tetap menjadi cara ampuh untuk mengidentifikasi jenis. Membuat catatan-catatan terlebih sketsanya akan menambah daya ingat si pengamat. Dapat dibandingkan, kita membuat sketsa dan catatan lainnya kemudian kita mencarinya di buku panduan lapangan, dibandingkan dengan kita membuat foto burung tersebut kemudian hanya bermodal “id please…” di Facebook, manakah yang lebih memberikan daya ingat jauh lebih panjang dan kepuasan ketika pengamatan.

Jadi bukannya tidak boleh juga kita membuat foto dan bertanya jenis apa ini. Saat ini pun banyak para fotografer umum (beberapa diantaranya juga para wartawan) yang mulai tertarik untuk memotret satwa liar termasuk burung. Jadi, mungkin banyak juga dari mereka yang hanya sekedar ingin tahu atau butuh nama burung-burung yang berhasil mereka potret. Ya tentu, ikut membantu mereka menyebarluaskan nama-nama burung yang benar perlu dan penting juga.

Bagi para pengamat burung, tentu identifikasi bagian dari keasikan dalam pengamatan burung. Kalau terus menggunakan cara instant untuk memperoleh hasil, kapanlah majunya. Janganlah “cuma” sekedar cekakak sungai kita sudah berteriak “id please…”. Mungkin justru akan lebih seru ketika ada foto tidak terlalu tajam atau bagus, diunggah, dan pengunggah memberikan keterangan lokasi serta kemungkinan-kemungkinan jenisnya. Pasti diskusi bahkan perdebatan yang terjadi akan lebih menarik dan bermanfaat. Jadi, sudahkah kita cek buku panduan lapangan sebelum berteriak “id please…”?

 

Penulis: HAN BASHARI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *